Thursday, February 07, 2008

opini

Maulid Nabi di Negeri Ironi
(sebuah deklamasi ratap)

Oleh: Rus'an latuconsina


"Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma'ruf dan mencegah yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung"
(Q.S. Ali Imran: 104)

Tak lama lagi umat Islam di seluruh dunia (bagi yang merayakan) akan melakukan ritual maulid (Turki: mevled, Pelauw: manian) memperingati kelahiran Rasulullah Muhammad saw yang jatuh pada tanggal 12 Rabi'ul awwal setiap tahun dalam penanggalan hijriyah. Nabi Muhammad saw dalam masyarakat Islam memiliki posisi yang sangat dihormati, dijunjung, dikasihi dan dicintai. Secara spiritualitas, posisi beliau sangat sentral setelah Allah swt Sang Pencipta. Tauhid mengajarkan tentang keesaan penghambaan dan kepasrahan total keharibaan Sang Penguasa jagat raya, disertai persaksian atas kerasulan dan kehambaan Muhammad saw. Sejarah menorehkan dan al Qur'an membuktikan keteladanan integritas pribadi beliau sebagai rasul dan nabi untuk memimpin umat manusia yang pada konteks ruang dan waktu pada saat itu penuh dengan kezaliman. Beliau adalah pemimpin spiritual dalam membimbing kaum muslimin beribadah dan berfastabikulkhairaat, juga beliau adalah jenderal perang dan ahli politik yang mendapat bimbingan langsung dari kekuatan Allah swt. Singkatnya beliau memiliki akhlak atau integritas diri yang paripurna laiknya al Qur'an hidup. Sisi-sisi kemanusiaan beliau terasa transformatik bagi tatanan kehidupan yang zalim kala itu disamping kualitas spiritualitas yang mendapat pancaran langsung dalam kedekatan yang khusus. Beliau adalah sosok puncak dalam eskapisme religiusitas dan keteladanan historis yang sangat dicintai oleh seluruh umat Islam sepanjang masa hingga akhir zaman. Bahkan Allah swt dan para malaikat memberikan salawat atasnya, tak ketinggalan orang-orang berilmu dan bertakwa. Walau sedemikian perfek kualitas cita idealitas kenabian dan humanitasnya, beliau almustafa selalu didoakan oleh segenap umatnya hingga akhir zaman. Manifestasi cinta luhur yang menggemuruh dalam pilinan tornado pengharapan dan inisiasi mistik menyembul dalam deru tak berpenghabisan membuhuli totolan detak waktu yang digapit gemulai ubudiyah dan kepasrahan fitrawiyah.

Dalam tulisan singkat ini penulis ingin mendeklamasikan senarai tangis sendu mengiris kalbu sebagai persembahan bagi tarian sejarah segepok kepongahan yang kian memuramkan paras peradaban dalam iring-iringan hantu narsisme, hyperrealitas yang memangkatkan sejumput moral dan bakul cinta. Tulisan ini ingin menggugat sisi moralitas dan historisitas dari perayaan rutin tahunan maulid atau manian di negeri Pelauw, desa di Maluku Tengah. Pelabelan istilah manian pengganti maulid bisa saja oleh karena pada saat maulid itu ada acara doa yang dilakukan dengan ketika yang sama menaburi kemenyan. Metode doa abad pertengahan sebagai persentuhan tradisi islam dengan tradisi lokal sebagaimana bisa kita temukan pada ritual doa di masa sunan sembilan Wali Songo. Mengenai kemenyan dan doa ini bukan menjadi telaah penting pada kesempatan ini, walau untuk masalah itu masih perlu pengkajian mendalam, namun yang hendak penulis ulas pada kesempatan ini adalah mengenai liukan-liukan sakramen profan yang merutin menyejarah dalam epos hidup yang cukup lama tanpa adanya counter hegemony (meminjam Antonio Gramsci mengenai hegemoni dalam tataran budaya) yang konsisten atasnya. Apa lagi kalau bukan "JOGET". Ya, joget adalah salah satu mode atau tren berekspresi libidinal (Sigmund Freud) yang sangat sukses memengaruhi gaya hidup masyarakat Pelauw. Joget yang penulis maksudkan adalah sebuah acara yang diadakan dalam bentuk party dan hampir sinonim dengan acara goyangan dalam pub, diskotik atau bar. Substansinya serupa. Joget di sini bisa dilihat dalam dua snapshoot. Yang pertama, joget sebagai fenomena budaya pop. Budaya pop atau budaya populer yang sangat massif dan perfasif menjarah segi-segi privat dan sakral manusia sebagai muntahan magma dari kapitelisme yang mengambil keuntungan menggila dari agenda globalisasi dan settingan gending neoliberalisme yang kemudian mencapai pubertas keduanya lewat temuan-temuan funtastik di bidang teknologi informasi, komunikasi dan transportasi (TIKT). Budaya pop meniscayakan massifikasi budaya dengan watak yang homogen yang berorientasi akumulasi kapital. Kalau dulu kakek kita yang revolusioner itu, Karl Marx , sangat memfokuskan diri dalam geliat Das kapital-nya pada langgam produksi dengan mendialektikakan elemen penggerak utama gerigi pabrik (buruh) dengan pihak borjuis sebagai pemilik modal yang berhati lintah, sekarang penindasan itu merasuki wilayah konsumsi umat manusia. Dengan era globalisasi yang dipaksakan oleh negara-negara maju itu serta didukung oleh kecanggihan TIKT, maka sebagaimana Marshall Mc luhan dengan kampung global-nya, umat manusia di muka bumi ini meenghadapi tirani modal yang sangat meluas, menjangkau apa saja, siapa saja dan di mana saja. Tak ada yang tidak akan dijamah oleh tangan-tangan dingin tirani modal ini. Sekarang adalah era kapitalisme konsumsi yang menggila. Sebagai konsekuensi dari hasrat besar merkantilisasi, maka budaya pop sebagai bumbu capcay umpan pada lubang jagal proyek massifikasi budaya untuk kemudian menghantarkan manusia-manusia yang memanjakan perut dan di bawah perutnya menuju homogenisasi persepsi, insting, dan hasarat berkonsumsi. Budaya pop menjadi candu yang sangat ampuh menggiring dengan watak aditifnya (kecenderungan hasrat libidinal Jacques Lacan ) manusia-manusia yang berhasrat sinonim dengan subjektivitas anonim menjadi serdadu-serdadu konsumeris, tiarap takluk di bawah perut buncit produk-produk budaya barat yang telah menghegemoni. Arus budaya yang kian kencang dari barat, didukung oleh kesiapan masyarakat pelauw yang telah lama meritualkan dalam siklus tahunan yang cukup lama serta mobilitas sosial masyarakat pelauw yang cukup tinggi yang ditandai dengan tingginya frekuensi pergi pulang kota- Pelauw maupun urbanisasi pelajar mahasiswa Pelauw yang cukup besar ke beberapa kota di Indonesia. Kebiasaan lama ber-joget telah ada tertanam bahkan dalam alam persepsi dan bawah sadar sebagai sesuatu yang telah 'terberi', was given, sebagaimana omelan Martin Heidegger. Hal ini telah siap walau tanpa instrumen dan pernak-pernik yang serba gemerlapan dari tawaran instrumen pencitraan dan tools of party yang telah kian canggih di abad teknologi ini. Semakin canggih dan kemudahan yang diperoleh dari tools of party, baik instrumen lagu, gaya (style, RNB, hip hop, tripping, a cha cha, kadayo, wayase dst) maupun perangkat audio-visual pengiring dan informasi-informasi dunia glamour diracik dengan bumbu Narkoba, sopi, mansion, wisky, topi miring dan sebaginya, maka lengkaplah sudah dunia pesta di Pelauw yang selalu itu-itu saja jamuan penikmat yang melengkapi sebuah babak menuju kehancuran yang mengenaskan. Singkatnya, kerusakan itu telah dibiarkan lama. Lama sekali... Maka siapakah yang harus bertanggung jawab? Ataukah memang tidak pernah sama sekali menyadari bahwa ada yang telah rusak? entahlah ...

Ketika coretan sendu ini kutorehkan, pikirku melayang mengingati sepenggal drama hidup yang terfosilkan dalam salah satu roman tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, "Anak Semua Bangsa", ketika terjadi pergantian pimpinan pabrik gula Tulangan dari seorang totok lama kepada totok (Walanda) yang baru, Plikemboh, ketika pada waktu yang sama ada seremoni klasik yang mirip seperti topik ulasan di atas, yakni pesta dengan musik-musik yang mengundang mesum dan tak lupa, minuman keras. Itu dinikmati bersama oleh sebagian pribumi bersama elite kolonial Belanda, mandor pabrik dan kaumnya. Ini adalah sebuah isyarat sejarah yang diulas oleh Pram sebagai tingkah kebiasaan pribumi yang dalam persepsi dan benaknya telah takluk sebagai kaum-kaum yang terhegemoni dan terkalahkan. Di mana-mana selama lebih dari tiga abad kaum pribumi kita telah ditindas, diperas, dibunuh, sampai kemudian menumbuhkan perasaan inferior, kaum kalah tak berdaya, kaum budak. Akhirnya hegemoni itu merasuki setiap sendi kehidupan pribumi, entah sosial entah politik entah ekonomi entah budaya, bahkan agama sekalipun sebagai benteng terakhir pertahanan. Contoh nyata dari hegemoni tersebut di bidang budaya adalah pesta dan minuman keras. Pesta beserta ikutannya seperti minuman keras, sex bebas adalah budaya Eropa yang leluasa memengaruhi pribumi, termasuk di negeri Pelauw dan sekitarnya, terpaksa diadopsi dari kebiasaan-kebiasaan tuan kolonial Belanda oleh pribumi kita yang notabenenya adalah muslim dengan budaya keluhuran, etika kesopanan dan moralitas ketimuran yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Ini adalah sebuah proses pembodohan dan penindasan kultural yang telah beratus-ratus tahun dilakukan oleh penjajah serakah-biadab Eropa yang kemudian merasuki alam bawah sadar dan persepsi pribumi sebagai kebiasaan yang biasa-biasa saja, sudah begini dan begitu sejak jaman dulu, its taken for granted since long long ago, yang terberi, sesuatu yang sebagaimana dicamkan oleh Adolf Hitler bahwa suatu kesalahan yang dilakukan berulang-ulang beratus-ratus kali atau bahkan beribu kali akan berubah menjadi kebenaran. Ya, kebenaran baru ala Hitler telah dipraktikkan dalam rupa laku joget, pesta beserta ikutannya di negeri yang katanya 'barakate' (barakah, diberkati, graceful (?)). Berdasarkan yang terakhir inilah penulis kemudian menempatkannya kedalam cara snapshoot kedua, yakni joget dan pesta-pestaan itu telah bermetamorfosis meraih statusnya menjadi tradisi baru, adat baru atau budaya baru. Bukan lagi menjadi hal penyimpangan budaya, akan tetapi telah menjadi budaya baru. Mengapa budaya baru? untuk jawabannya tanyakan saja kepada bocah-bocah Sekolah Dasar di Pelauw yang masih hijau itu, ataukah siswa-siswi SMP dan pelajar SMA di sana. Tanyakan pula kepada guru-guru mereka semuanya, tanyakan kepada segenap orang tuanya, tanyakan kepada penghulu-penghulu agama dan adat, tanyakan kepada siapa saja manusia di sana... Bahwa sepenggal cerita dalam karya Pram di atas yang bersetting jaman kolonial, ternyata mendapatkana artikulasi nyata, terbuka tanpa counter atasnya, serta senantiasa continously, berjalan terus mengiringi hari berganti, minggu bertukar, bulan bergulung dan tahun melipat, dari tahun-tahun entah kapan semenjak doeloe hingga kini.

Bahwa di kisah roman itu masih sebatas pada saat pergantian pimpinan pabrik gula, pesta diadakan. Namun lihatlah di Pelauw, negeri kita tanah kelahiran kita dan tumpah darah yang selalu dibangga-banggakan itu. Jangan bercerita tentang pesta. Jangan tanyakan bagaimana semaraknya acaranya. Jangan tanyakan berapa kali dalam sebulan, atau berapa kali dalam semiggu, atau bahkan berapa kali dalam sehari. Bahkan awan yang selalu mengaraki dan tanah di bumi pun akan bersaksi kalau seandainya bisa ngomong. Lebih menyedihkan lagi adalah pesta itu tidak segan-segan diadakan ketika ada di dekat situ keluarga yang berduka cita. Coba bayangkan keluarbiasaan ini. Mulai dari acara sunatan, kerja bakti, lulusan sekolah, hajatan ini hajatan itu, bahkan yang remeh-temeh pun, sampai kepada momen-momen yang tidak pantas sama sekali untuk diadakan pesta-pestaan. Seperti saat idul fitri yang biasanya reuni para pelajar dan mahasiswa (solidaritas angkatan misalnya). Yang menjadi ironi adalah ketika yang menjadi pelopor di situ adlah mahasiswa. Sekali lagi mahsiswa Pelauw. Ini adalah satu indikasi langsung untuk mengukur seberapa jauh persepsi mahasiswa terhadap diri dan lingkungan sosial. Ini juga bisa dijadikan bahan justifikasi bahwa sebagian besar mahsiswa Pelauw yang bertebaran kuliah di beberapa kota di indonesia itu kurang memiliki sense of hystory, sense of struggling for humanity, truth and religiusty. Ini bukti dari sifat apatisme, ketidakpedulian mahasiswa Pelauw terhadap kondisi sosial. Tipikal mahasiswa seperti inilah, oleh Herbert Marcuse disebut sebagai one dimensional man (manusia mesin), oleh Ali Syari'ati digolongkan sebagai basyar dan bukan insaan dan oleh Eko Prasetyo disebut intelektual yang bodoh dan sesat pandangannya sehingga berkesadaran naif dan mitos seperti dikatakan Paolo Freire. Mahasiswa yang telah nyata membiarkan dan bahkan terlibat dalam gelombang pengrusakan budaya rakyat dengan segenggam kesadaran palsunya. Tak sampai di situ saja, kisah naas pesta-pestaan ini selalu, selalu dan selalu bahkan sangat selalu dan keterlaluan selalu di luar batas-batas moralitas dan akal sehat. Bayangkan, tak ada satupun mesjid di dunia ini yang halaman pintu depannya bisa dijadikan lapangan pesta-pestaan. Mesjid yang merupakan ruang sakral, ruang bermunajat, ruang berdoa, ruang shalat, toh di sana juga halamannya masih juga dan diperbolehkan untuk acara yang telah nyata-nyata membawa malapetaka bagi kehancuran budaya keluhuran dan moralitas, kehancuran keberadaban masyarakat. Nah, sampai di sini kalau sampai mesjid pun sebagai simbol sakralitas masyarakat telah dinodai oleh pesta-pestaan, maka bagaimana nasibnya dengan tempat-tempat dan ruang-ruang sakral lainnya? Ternyata tidak sampai di situ saja. Rumah-rumah soa pun lebih hebat lagi.

Berkaitan dengan topik telaah pada kesempatan ini, penulis ingin mengutuk tradisi baru tersebut walau minimal lewat tulisan ini. Hal yang lebih membuat penulis tidak bisa terima adalah, selain sebagaimana di atas, bahwa tradisi buruk dan terkutuk ini pula telah merembet sedari lama dan bertahan sampai kini (memang betul telah menjadi tradisi baru), yakni pesta-pestaan ketika menyambut kelahiran baginda almustafa Rasulullah Muhammad saw. Mereka merayakan maulid/manian dengan pesta-pestaan ini. Na'udzubillah. Perbuatan yang sangat nista. Sarkasme kultural yang melanggeng dalam buaian kesadaran palsu dikebuli kenikmatan-kenikmatan-ke'asyikan-kegaulan pesta-pestaan. Siapapun umat Islam yang mencintai beliau Rasulullah saw pasti takkan menerima perlakuan senista ini. Menurut hemat penulis, masyarakat yang berpesta-pestaan di setiap maulid itu betul-betul melakukannya tanpa merefleksikan apa sebenarnya hakikat perayaan maulid Nabi yang dimeriahkan pula dengan tradisi baru pesta-pestaan itu. Boleh jadi mereka bermaksud baik hendak menghidupkan syiar Islam dalam maulid ini yang mana hal ini dilakukan dengan beracu pada konvensi historis masa lalu sebagai yang mentradisi di setiap penanggalan untuk itu. Tapi apa lacur yang terjadi malah sebaliknya berbalik ironis sarkastik antiklimaks. Alih-alih mau menghidupkan tradisi maulid, malah yang terjadi adalah sebaliknya, penistaan atas substansi maulid itu sendiri. Akal sehat apa lagi yang bisa mengingkari hal ini? Apakah semua orang sudah kehilangan akal sehatnya? Di manakah nurani kalian duhai kaum-kaum intelektual terpelajar yang bernama mahasiswa Pelauw?

Penulis hanya bisa mempersembahkan tulisan ini untuk menyambut maulid. Apa yang pernah dilakukan oleh media cetak dan elektronik di Denmark dan beberapa tempat di Eropa beberapa waktu lalu yang menghina Rasulullah saw dengan penerbitan edisi kartun nabi itu menurut hemat penulis tidaklah kalah nistanya dengan apa yang selama ini mentradisi di Pelauw. Cobalah direnungkan kawan-kawan. Semoga kita bisa memetik hikmah dan pelajaran dari setiap fenomena ayat-ayat kauliyah maupun pada ayat-ayat kauniyah dan senantiasa merefleksi, merenungi, memikirkan kembali dan selalu bertafakkur, bertafakkur, membaca, membaca, membaca dan berbuat kebaikan dengan niat suci untuk meraih ridha Allah swt. Perubahan ke arah baik takkan turun dari langit, namun oleh pikiran, doa, ibadah dan perjuangan manusia itu sendiri.

Kebenaran akan tetap menjadi
kebenaran walau semua orang
mengatakan sebaliknya
(Antonio Machado, penyair Spanyol)

Terakhir...
assalamualaika yaa Rasulullah
Allaahumma shalli 'alaa sayyidina Muhammad wa aali wasahbihi ajma'iin


Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]