Thursday, January 10, 2008

opini

Budaya Asli atau Hibridasi Budaya?
(sebuah renungan atas kejumudan berpikir)
Oleh: Rus'an Latuconsina


Tulisan kali ini mau mencoba menilik kembali apa yang telah menjadi semen apriori pada kesadaran batok kepala kita, khususnya dalam hal wawasan budaya, terlebih lagi budaya Pelauw. Budaya sebagai salah satu olah karya imajinatif dan tindakan kreatif dari kelompok manusia dengan lokus kehidupan serta konteks waktu tertentu, dalam banyak hal sering disalahpersepsikan oleh pelanjut fosil budaya tersebut, terlebih lagi yang terkait dengan pengklaiman dan pendefenisian properti budaya. Terkadang hal ini disebabkan oleh kurangnya telaah perbandingan atas arus lalu lintas budaya dari jejaring budaya tempo klasik sampai budaya 'cyber space' dalam kekinian. Sindrom tempurungisasi pemahaman budaya yang sering mengelabakankan sifat ketidakluasan dalam memotret panorama budaya tersebut. Dalam hal ini penulis ingin mengsketsakan satu contoh terkait dengan hal di atas. Titik sorotan untuk sementara ini adalah pendefenisian identitas budaya Hatuhaha, khususnya identitas budaya negeri Pelauw. Karena Pelauw adalah salah satu eksponen budaya dari imperium kultur geopolitik skala 'kerajaan' Hatuhaha, olehnya itu ia akan memiliki corak dan identitas budaya yang masih melekat dari romantisme eksistensi masa lalunya dengan induk afiliasi geopolitiknya.


dialektika budaya

Dalam kehidupan yang bersitegang hampir setiap saat sebagai implikasi logis gairah dinamika kehidupan rumpun manusia yang menempati setiap jengkal langgam hidupnya di atas bumi ini, perubahan adalah konsekuensi kemengadaan dari eksistensi maujudikal di alam semesta ini. Panta rhei, kata Heracleitus. tak ada yang tidak ikut bergerak. Entah bergerak dalam determinisme pasif ataupun sebagai fungsi improvisasi dan kebebasan kehendak men-dassollen-kan eksistensinya. Tak tersisa pula untuk sosok eksotik yang bernama budaya. Budaya senantiasa berubah. Ia mengikuti proses dinamika manusia yang mempolakannya dalam setiap epos kehidupannya. banyak sisi hidup manusia dirajuti benang-benang variatif atraktif dari budaya. Budaya dari satu tempat komunitas manusia akan terbawa lewat tunggangan geliat migrasi ataupun corak translasi lainnya oleh motif-motif yang variatif, menuju tempat lain. Berikutnya sebaliknya hal itu terjadi serta terbuka bagi arah translasi budaya yang mengambil pola jaring-jaring dan seterusnya hingga menjadi untaian linasan yang berliuk-liuk menuju limit pelik dalam harmonitas, kesolidan, fragmentasi dan seterusnya hingga tersusun realitas budaya yang bermozaik. Olehnya itu dalam setiap komunitas manusia tidak berlaku defenisi identitas budaya yang asli, perkecualian kepada komunitas masyarakat yang terletak di pedalaman dan tidak pernah terjamah budaya luar. Tapi apakah hal ini ada?

Kembali ke masalah identitas budaya Pelauw. Dari asumsi paparan di atas terdapat plot scene serupa dengan identitas budaya yang dipraktikkan dan terwarisi di negeri Pelauw. Masalahnya begini. Sering terlontar pernyataan justifikatif dari orang Pelauw bahwa identitas budaya yang ada di sana adalah betul-betul identitas budaya asli Hatuhaha. Pendefenisian yang menurut hemat penulis telah menggiring kecenderungan analisis dan afirmasi kepada kebanggaan diri sendiri yang berlebihan, semacam megalomania syndrom (meminjam Erich Fromm) serta tersodok ke pojok apresiasi berpikir opoisi biner. Oposisi biner sebagai paradigma apriori yang memecah realitas dalam dualitas yang saling antagonis, antara hitam dan putih, antara besar dan kecil dan seterusnya. Jadi contoh nyatanya adalah ketika hal ini menyelimuti paradigma berpikir masyarakat yang beruntai dalam hal oposisi biner antara adat dengan agama, antara Hatuhaha dengan bukan Hatuhaha, antara Pelauw yang selalu 'besar' dengan bukan Pelauw yang 'harus tidak besar', antara 'pro raja' dengan 'anti raja', antara 'orang muka dengan 'orang belakang', antara islam syari'at dengan islam ma'rifat, antara ini dan antara itu dan seterusnya. Sebenarnya fenomena ini telah mendunia, bahkan menjalar di dunia Islam secara mondial, misalnya antara muslim arab dengan muslim ajam, antara sunni dengan syi'ah, antara hak otoritatif sultan dengan kewenangan oposisi ulama oposan dan seterusnya. Dalam paradigma ilmu yang dikembangkan oleh kalangan intelektual akhir-akhir ini, masalah opososi biner sebagaimana di atas telah terdekonstruksi hingga ke akar-akarnya, salah satunya oleh paradigma berpikir posmodernisme yang telah meretaskan model keberpikiran alternatif dan kemudian masih dalam proses tak berujung pula.

Mengapa hal di atas harus diungkapkan? jawabannya ada pada eksistensi aktualita kita sendiri yang kini diterjangi dan menerjangi dalam kenduri dialektika berbudaya. Kita yang hidup dan dibesarkan di tengah seliweran budaya global yang kian menerkami budaya-budaya lokal. Budaya lokal yang dulunya terisolasi, kini mulai 'telanjang' setelah dipaksa masuk ke dalam gerbang buas globalisasi budaya. Sementara di sisi lain, kita memiliki basis budaya lokal yang membesarkan kita. Oleh karena hukum dialektika budaya yang tak terhindarkan itu, maka kita pun kini berposisi sebagai medium sengketa, ring tengkar dan wahana dialektika antar budaya lokal kita dengan buday yang telah mengglobal.

Budaya asli?

Homi K. Bhaba, seorang teoritisi poskolonial dan cultural studies mengatakan bahwa tidak ada budaya yang betul-betul asli menetap terus pada suatu komunitas manusia, melainkan senantiasa mengalami perubahan, dialektika, saling tukar mengisi, menerima dan memberi, memperkaya dan merusak dan mengarah kepada satu keadaan hibridasi budaya. Nah, hal ini sangat paralel dengan apa yang terjadi pada konteks budaya negeri Pelauw atau hatuhaha dalam sekop yang sedikit lebih luas. Ketika hal ini dikomparasikan, ternyata memang demikian tidak bisa dipatok mati dan menyimpulkan dengan terburu-buru secara defenitif mengenai apa sebenarnya identitas budayanya yang asli. Mengingat selalu dan akan selalu terjadi dialektika budaya sebagaimana di atas, maka penulis mengatakan bahwa identitas budaya yang ada di Pelauw adalah produk dialektika budaya sekian lama selama usia manusia yang menempati dan beranak pinak di sana. Sehingga klaim mengenai status identitas budaya yang oposisi biner seperti yang mana defenisi adat yang genuine, betul-betul asli lokal setempat serta yang mana pula defenisi budaya dari tradisi Islam. Hal ini penting untuk dipertegas kembali, mengingat kekeliruan berpikir yang mendikotomikan antara adat dengan agama, antara adat asli dengan budaya Islam adalah sebuah frame berpikir yang menyesatkan dan tidak logis. Coba pikirkan sejenak. Di manakah yang tidak adanya unsur akulturasi atau hibridasi budaya dari kekayaan budaya Pelauw? Yang ada adalah produk hibridasi atau akulturasi budaya keduanya dan telah mencair, saling mengisi dan memperkaya. Kita pula tidak bisa mendefenisikannya dalam hal pemilahan secara atomistik, yang mana identitas budaya yang dikategorikan kategori 'adat' murni tidak ada unsur kategori 'agama'. Begitu pula sebaliknya. Sekali lagi bahwa ketika kita masih berbicara dan meretaskan realitas serta bertindak dengan memakai frame berpikir demikian, maka kita telah terjatuh dalam jerat kesalahan berpikir. Karena tak ada satupun budaya yang genuine. Yang ada adalah proses. Satu hal pula yang perlu menjadi bahan refleksi kritis kembali adalah oposisi biner antara berislam secara syari'at dengan berislam secara ma'rifat. Hal ini termasuk pula kedalam frame berpikir yang keliru. Semoga kita tak berhenti sampai di sini untuk membuka diri dan berani berpikir kritis. Berani bersuara atas kebenaran. Wallahu a'lam bishowab.


Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]