Tuesday, December 25, 2007

opini

Elegi Cinta dan Gerak
Oleh: Rus'an Latuconsina


"Manusia yang merasa puas dan sukses
tak berdaya di mata iblis"
-Naguib Mahfouz

Hilir mudik. Kencang tak mau berhenti. Panta rhei sebagaimana sabda Heraclitus. Keadaan begitu cepat berubah, mengaliri dan menghanyutkan apa saja yang mengonggok. Ia adalah tsunami yang mengobrak-abrik. Ialah aktor laten yang 'mengabadi' sepanjang sejarah manusia. Tak terbilang sudah berapa banyak puing peradaban yang digusur kemudian tergantikan yang baru. Ialah dinamika kehidupan itu sendiri. Ialah perubahan. Perubahan selalu ada di mana-mana. Ia adalah sunnatullah yang pasti. Setiap entitas yang sempat mengada pasti hanyut dan terhuyung dalam tarian jagat ini. Kecuali wajah-Nya yang tak serta, karena memang begitulah hukum Sang Sutradara. Mulai dari entitas kemaujudan yang paling kecil sub atmik sampai kepada wujud kosmikal, dari entitas kedirian personal sampai dengan realitas sosial yang serbaga jamak tak terhindarkan dari perubahan. Ia akan bergerak dan menuruti irama ekstase Rumi, kian bergerak hingga terhenyak dalam mabuk cinta. Karena hidup adalah gerak laksana laron yang merindukan cahaya, akan senantiasa mengarakkan kafilahnya menuju tambatan sumber cahaya perlambang cinta. Karena hidup adalah gerak.

Oleh karena cinta, semuanya bergerak. Bergerak dan terus bergerak menuju limit tak bertepi. Terbang menghampiri hingga hangus terbakar. Terbakar dalam kerinduan majelis burung-burung Fariduddin Athar. Meski harus menafikan kedirian yang fana. Diri Majnun yang merindukan Laila. Sebuah kenduri rasa yang menghempaskan nalar awam seperti pentas heroisme Karbala. Epik sayyidina Husain ra yang menerjangi terkaman buas medan tempur dengan memupuskan kegetira. Cinta melahirkan kerinduan. Kerinduan meniscayakan gerak. Cinta berawal dari ketertarikan hati. Ketertarikan sontak bukan karena tanpa sebab. Ia adalah kecenderungan fitriah, bawaan murni sebagai manusia yang merindu dan mencinta. Sementara ketertarikan menyengat batin kala objek cinta meruapkan pesona keindahan yang memijari relung batin. Ia berawal dari pengenalan. Pengenalan sebagai ma'rifat. Ma'rifat sama saja mengenal (Indonesia) atau know about (Inggris). Ma'rifat atau pengenalanlah yang menghantarkan kepada kerinduan (isk) dan cinta (hubb, mahabbah). Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Mana mungkin cinta muncul tanpa pengenalan?

Sementara cinta pemeran lakon sejarah bumi terdiferensiasi atas orientasi cinta Eros (tingkatan rendah, hewaniah, jasadiah, jism, materialisme dan) dan orientasi cinta Platonik (tingkatan tinggi, posmaterial, al qalb). Cinta yang pertama memiliki keterbatasan untuk tingkatan dan daya improvisasi rasa ekspresif serta objek inspiratifnya, sebatas relung imajinatif dan ekspresi keindahan pleassure. Cinta yang terpenjara oleh tubuh, cinta materil yang memancarkan kekuatan insting freudian untuk aktualisasi. Sedangkan cinta jenis kedua tak pupus oleh kehimpitan bentuk dan kemempetan citarasa materi. Ia adalah cinta atas kemahamutlakan wujud, kerinduan atas energi cinta yang tak terkira. Cinta yang sumber inspirasinya tak berbatas ruang waktu, tak berawal dan berakhir, yang meliputi wujud materil dan gaib. Cinta kepada pemilik dan pencipta rasa, penguasa alam semesta dan diri beserta selubung misterinya yang menggelayuti daya imajinatif sang pencinta. Cinta kepada Tuhan Yang Maha Ahad. Misteri cinta yang menggelayuti diri Adam as beserta anak turunannya sebagai anugerah. Ia ada dalam diri manusia dan mengejawantah sebagai perang tak kunjung usai antara dua kekuatan maknawi yang terberi sebagai tonggak kemerdekaan, yakni jejak iblis dan tapak malaikat. Kehidupannya adalah pemeranan kebebasan menentukan pilihan bagi diri manusia. Perjuangan hebat (jihad akbar) diri manusia untuk memuluskan jiwa merajut sayap-sayap insaniahnya demi meluncur ke limit terawangan malaikat senantiasa berlangsung dan terus berlangsung sampai raga mengonggok mayat, ruh kembali ke asalnya yang suci, hingga perjamuan jiwa dengan malaikat maut. Sungguh perang yang besar karena ia sangat dekat dengan eksistensi keseharian, bahkan penentu eksistensi kemasadepanan. Kemenangan jalan iblis adalah sebuah tonggak pemberontakan atas kekuatan imperium jagat raya, Tuhan Yang Maha Akbar. Ia adalah langkah keberhasilan menjadi oposan dan saat 'kejatuhan dari sorga' sebagaimana Adam as dulu melakoninya.


Sekonyong hidup ini bagi manusia adalah perjuangan. Perjuangan dari potensi ketergelinciran 'jatuh' menuju pengepakan sayap malaikat. Hidup adalah bertarung dengan ego-ego yang menggelincirkan kepada tepi jurang 'kejatuhan'. Jurang yang penuh kegelapan dan bahaya. Seraya bersusah payah menyingkap tirai (hijab) yang selalu saja ada di setiap stasiun kesadaran jiwa kita. Tirai yang menghalangi pancaran sinar mentari pagi kala fajar menyingsing di bebalik gunung batu padang arafah. Tirai yang begitu tebal dan sangat tebal. Semakin tebal ego-ego dan kecenderungan jejak iblis menggelantung di sudut kalbu, maka tirai-tirainya pun sebanyak itu. Perjuangan diri untuk kesegaran mentari pagi adalah perjuangan menyingkap tirai-tirai. Iluminasi cinta akan memekat kala satu demi satu tirai diri tersingkap. Puncak ketersingkapan meroketkan diri menanjak dalam gradasi kemanusiaan yang mabuk cinta (isq) oleh sebab pancaran ma'rifat Allah swt semakin dekat. Ketersingkapan tirai yang ditandai oleh pencerahan spiritual dan intelektual diri yang melejit dari diri yang mendekati 'paripurna' (insan kamil) menegasikan segala anasir kegelapan jejak iblis, membawa kepada ekstase cinta. Ekstase cinta dari diri yang fana' dan tak berarti yang 'ingin bertemu' dengan kekasih sejati, Allah swt, Sang Pemilik cinta sejati. Cinta sejati berupa ma'rifatullah adalah kebenaran yang selain manusiawi (fitrah suci manusia) juga adalah eksperimen spiritual yang sungguh nyata, berdasarkan sejarahnya. Maukah kita ikut ke sana..? ataukah hanya berpuas diri dengan cinta eros.





Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]