Tuesday, December 04, 2007

opini

Merevitalisasi Ghiroh Intelektual Kita
Oleh: Rus'an Latuconsina



"Niscaya Allah meninggikan orang-orang yang
beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat"
(Q.S. al-Mujaadilah (58): 11)


Tulisan singkat ini tidak bermaksud untuk menggurui siapapun, namun penulis dedikasikan sebagai bahan renungan bersama kita. Sebagai muslim yang berkeyakinan tauhidi, sudah selayaknya masing-masing kita menginsafi hakikat eksistensial diri sebagai hamba (abdi-Allah) dan khalifatullah, yang selalu sadar diri akan seluruh realitas, baik makro kosmos (alam semesta) maupun mikro kosmos ( ma'rifatun-nafsi) serta dinamika sosial kemanusiaan yang kesemuanya dalam bingkai tawakkal kepada Allah dan penjalinan intensionalitas (muzakarah) kepada Allah Yang Maha Akbar. Dari sikap berserah diri secara tulus dan pasrah (islam) kepada Sang pemilik imperium langit dan bumi inilah, maka diharapkan kita sebagai manusia dapat mengukir karya-karya yang berguna bagi peradaban kemanusiaan di muka bumi, di samping pengharapan kebahagiaan pasca eskatologis (akhirat).



Dari kutipan ayat al-Qur'an di atas, dapat kiranya kita mengetahui bahwa dalam Islam, posisi dan peran para ilmuwan sangat dihargai. Namun dengan penegasan bahwa cakupan ilmuan yang dimaksud tidak terbatas dalam defenisi ilmuan modern an sich, yang hanya memberikan pembatasan legitimasi epistemik yang kemudian membawa implikasi pemenjaraan hakikat keilmuan itu sendiri ke dalam koridor sempit metode ilmiah. Penghargaan atas para pencari ilmu adalah konsekuensi logis dalam keberislaman , karena ajaran Islam yang dibawa oleh rasulullah Saw sangat menekankan pentingnya mencari ilmu. Syahadat sebagai gerbang pengakuan keberislaman sarat dengan urgensitas keilmuan, dimana di situlah terletak momen persaksian (syahadah) akan keberadaan dan kekuasaan Sang Penguasa alam semesta yang Ahad. Persaksian yang intensif dan epistemik.

Dari aras urgensitas keilmuan dalam doktrin keagamaan kita, maka sudah selayaknya sebagai muslim, kita senantiasa harus mengaplikasikan titah dan wejangan langit tersebut guna memenuhi dan melengkapi diri kita, menuju proses pencerahan diri menjadi insan yang lebih baik menurut wejangan langit (al-Qur'an) tersebut menjadi insan kamil atau ulil albaab. Proses pencerahan yang tidak terbatas pencerahan ala aufklarung di Eropa yang mengeliminir aspek intuitif, namun pencerahan paripurna, tepadu, pencerahan langit dan bumi, pencerahan spiritual dan intelektual. Kata Denias, itu sudah...!

Mengenai keutamaan berilmu ini, marilah kita menengok kembali di masa salafussaleh, ghiroh pendalaman keilmuan yang beriringan dengan pemerkayaan kualitas spiritual seseorang di zaman itu. Amirul mu'minin Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata: "Kelirulah orang yang menyombongkan harta dan keturunannya sebab hanya pengetahuan dan kebaikan akhlak yang patut dibanggakan". Di tempat lain beliau juga berpesan "Barangsiapa yang tidak berpengetahuan, maka dia tidak bernilai (hasab)"; "Tak ada nilai yang lebih berharga dibandingkan dengan ilu pengetahuan (adab)". Rasulullah Saw pernah bersabda yang diriwayatkan at-Tirmidzi dari abu Ummah: " Keutamaan orang 'alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah dari sahabatku".

Tidak berarti bahwa ketika kita menjinjing identitas kemahasiswaan saat ini, secara otomatis telah memenuhi kriteria orang berilmu (intelektual) sesuai dengan tuntutan agama kita yang agung. Sekadar diketahui bahwa identitas ke-intelektualan kita saat ini saat sebagai mahasiwa atau pelajar, menurut hemat penulis adalah masih sekadar intelektual tradisional ( Antonio Gramsci), atau intelektual berkesadaran mitos (Paolo Freire) serta intelektual picisan (ArieF Gunawan). Hal ini karena kita sebagai kaum yang dikatakan terpelajar masih terjebak di dalam kerangka berpikir yang menyesatkan secara paradigmatik, berkiblat kepada epitemologi metode ilmiah yang dibakukan di kampus dan sekolah yang narsis, destruktif serta parokialistik serta mengamininya sebagai satu-satunya alternatif metode pencapaian kebenaran. Akhirnya pikiran dan tingkah laku kita seolah-olah menjadi manusia mesin (Marcuse). Konsekuensinya, dalam tataran aksiologi, kita hanya menenteng keintelektualan kita sebatas simbol karena daya kemanusiaan kita telah termandulkan secara sistematis, menjadi teralienasi dari realitas yang zalim (Marx).

Salah satu anak kandung resmi modernitas adalah sekolah dan universitas tempat kita dididik, atau dalam bahasanya Eko Prasetyo, mahasiswa menjadi olahan pabrik dan pabrik adalah kampus atau sekolah yang kelak akan menawarkannya ke tengah-tengah etalase pasar global. Sebagai produk sekolah, sudah tentu kesadaran mahasiswa atau pelajar akan terkonstruk menjadi kesadaran robot dan kemudian akan berbangga diri dalam ketaksadaran sebagai robot yang hanya pandai atas ilmu yang diinjeksikan oleh pabrik robot. Karena itu, ilmu yang berlandaskan iman ingin menghidupkan obor eksistensi kemanusiaan yang syahdu dan teduh (Muhidin M. Dahlan) yang selama ini telah menjadi kurban dari proyek ambisius genocida industrial (Teodore Adorno), sebuah mega-proyek yang telah mencin-cang-cincang otentisitas manusia di bawah kendali budaya mesin.

Betapa pentingnya berilmu dengan cara melahap seluas dan sedalam-dalamnya bagi diri serta menjadi bekal untuk mengukir peradaban yang lebih baik. Minimal hal ini dapat kita lakukan mulai dari diri sendiri serta hal-hal yang kecil (AA Gym). Membaca buku adalah aktivitas intelektual yang sangat bagus. Mungkin kita bisa mengambil ibroh atau pelajaran dari mendiang Mohammad Hatta. Beliau adalah pemimpin bangsa kita yang kutu buku tulen. Beliau berhasil membawa pulang gelar doktorandus ekonomi dari negeri Belanda dengan kekayaan buku yang dikoleksinya sebanyak 16 peti. Meski menamatkan studinya agak lama, yakni sebelas tahun, namun beliau sangat luas dan dalam dengan pengetahuan serta pengalaman politik di benua Eropa. Beliau adalah penggiat Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia, PI) di Negeri Belanda serta pernah menjadi Ketuanya. Selain itu, beliau aktif menggalang relasi politik atas nama PI dengan organisasi sosialis serta forum konferensi anti imperialisme di sana. Selain itu, beliau juga membangun hubungan politik dengan para mahasiswa Asia dan afrika yang belajar di Eropa. Dengan kepandaiannya akibat dari kehausan intelektual selama masa pendidikannya yang dimulai di tanah kelahirannya Sumatra Barat hingga Belanda, beliau kemudian terlibat aktif sebagai pemimpin pergerakan sosial-politik di tanah air sepulang dari Belanda. Beliau kemudian mempersembahkan karya intelektualnya (buku Alam Pikiran Yunani) sebagai mahar pernikahan beliau dengan ibunda Meutia Hatta Swasono. Selamat melahap buku.

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]