Wednesday, August 29, 2007

Opini


Kapitan Pattimura Pegang Pulpen
Oleh: Rus'an Latuconsina






"...kalu bole au upu'u ti i salamat, wa'ai pahita agama Rasulullah..."--doa saat bayi


Dari Ujung Kalewang ke Ujung Pena

Secara empirik etnografis, semakin ke timur dari wilayah Indonesa (ya, Indonesa, kata Denias dalam film Denias) semakin gelap warna kulit, rambut mie, suara berat dan performa tubuh keras. Selain itu sebagian besar menempati wilayah pesisir yang menyebabkan kebudayaannya cenderung inklusif, toleran dan demokratis. Wilayah pesisir mudah menerima hal-hal baru, sebaliknya wilayah pedalaman cenderung elitis, eksklusif dan feodalistik. Bandingkan saja budaya masyarakat Maluku dengan Jawa pedalaman. Pernyataan di atas tampak simplistik, namun dalam batas tertentu ada benarnya.

Sekarang mari kita tengok realitas yang ada di Maluku. Inklusifitas dalam varian corak berpikir dan bertindak yang boleh saya katakan ada pada masyarakat Maluku yang berbudaya pesisir ini merupakan konstruksi budaya yang berlangsung dalam epos sejarah yang panjang. Dialektika budaya memang tak pernah hilang sejak dulu dan selalu terjadi hibridisasi budaya seperti yang dikatakan oleh para teoritisi poskolonial dan cultural studies.

Masyarakat pedalaman Jawa yang agraris dengan bentangan sawah yang luas melahirkan struktur sosial hierarkhis. Ada pemilik sawah, tuan tanah, patron, bangsawan dan raja. Di sisi lain ada penggarap, petani miskin dan klien. Akhirnya kehidupannya menjadi paternalistik, feodalistik dan pro status quo. Dibutuhkan ide-ide Karl Marx untuk mentransformasikannya. Sementara masyarakat Maluku meretaskan peradabannya dari doeloe sampai kini tanpa hamparan sawah yang selalu disahuti nyanyian-nyanyian lembut segemulai juntaian bulir padi , sehening atmosfir sawah dan senarai lengkingan seruling bambu. Masyarakat Maluku dibesarkan dengan pilar-pilar pohon sagu yang mengekar menantang dan siap merobek paras langit yang berjuta solekan wajah. Masyarakat yang mengakrabi kehidupannya dengan riak buih, goncangan ombak dan hantaman gelombang laut yang kadang menunduk marut dan pasrah diduduki pantat kora-kora, lepa-lepa dan arumbai maupun yang biasanya bergeliat, berpusar dan menari-nari menggetarkan simang-simang nelayan. Bukan bulir padi yang merunduk, namun bunga cengkeh yang mewangi di pucuk suluran dahan-dahan yang tegap menerawang. Bukan patron-klien, bangsawanisasi dan strukturasi sosial vertikal, namun doktrin basudara, maningkamu dan pela-gandong yang meluhur dan membumi membentuk pola kehidupan yang endemik.

... (nantikan selanjutnya)

Comments:
Budaya anak muda ambon seharusnya dirubah total. saya sepakat dengan anda ketika kita tidak lagi harus mengusung kalewang tapi yang harus dibangun adalah budaya intelektual. di semua forum yang pernah saya ikut, termainstrem bahwa kita anak timur khususnya young ambon terkenal garang ketika dalam forum tapi yang di sampaikan tidak logis dan tidak terarah. ini PR buat kita semua... kesadaran perlunya budaya intelektual ini menjadi konsumsi pokok buat kita semua. sehingga budaya yang terkenal di ambon tidak lagi garang dengan kalewangnya tapi garang dengan intelektualnya...
filosofi budaya yang dibangun memang terkenal di jawa.., akan tetapi Maluku salah satu miniatur budaya yang ada di Indonesia harus menjadi hal pokok dalam membangun bangsa. itu dulu comment dari saya.. tanks before

M Rivai Tuhuleley
(Staaf DEPLUSOSPOL BEM UAD Yogyakarta)
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]